Minggu, 26 Februari 2017

Bangkai kucing di sumur

Ada bangkai kucing di sumur saat hujan murung mengepung rumah kecil kami yang kesepian. Bangkai kucing seukuran paha manusia yang susah diangkat dengan ember dan tali engsel pengait. Kata ibu bangkai itu bau, mungkin itu bangkai kucing yang bebal semasa hidupnya. Kucing yang suka mencuri meski sudah dikasih makan.

"Bukankah semua kucing suka mencuri?"tanyaku saat berusaha mengangkat bangkai itu. Ibu berdiri di samping sambil mengamati.

"Tidak semua kucing,"

"Contohnya?"

"Kucing Nyonya Rahma tidak pernah mencuri," jelas ibu dengan pasti. Nyonya Rahma adalah tetangga kami yang paling kaya. Rumahnya dua blok dari rumah kami. Ia menyayangi kucing dan memiliki berbagai jenis kucing dalam kandang kandang.

"Tentu saja kucing Nyonya Rahma tidak pernah mencuri, mereka kan selalu kenyang."

Ibu tidak menanggapi. Hujan yang tempias di tepi sumur membuat kami semakin kesulitan untuk mengangkat bangkai itu.

***

Ibuku bekerja sebagai tukang cuci di rumah Nyonya Rahma. Ia bangun pagi pagi dan pulang petang sekali. Sedang ayahku menganggur sambil sesekali menarik ojek bila ada tetangga yang minta diantarkan.

"Apa ibu tidak lelah seharian bekerja?"tanyaku suatu sore sambil memijiti kakinya.

"Seharusnya kamu menanyakan hal itu pada ayahmu," ucap itu. Matanya kian hari kian kosong kehilangan tenaga.

"Dia yang menikahi ibu," lanjutnya.

Setelah itu aku tak pernah berani lagi menanyakan apa-apa pada perempuan itu. Kehidupan kami tertutup rapat rapat bagi segala pertanyaan yang mengusik hati.

Esoknya, saat aku sedang ingin menimba air dari sumur, emberku membentur sesuatu yang keras dan berat. Mataku membelalak saat mendapati sesosok tubuh dengan kaos oblong berwarna kusam dan kepala setengah botak.

Dengan hati teriris aku berusaha mengangkat jenazah ayahku yang tercemplung di sana. Jenazah yang semasa hidupnya begitu bebal seperti bangkai kucing bau beberapa waktu lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar