Selasa, 28 Februari 2017

Apakah itu manusia?

Sampai saat ini aku masih tidak mengerti apa itu kemanusiaan. Selama dua puluh lima tahun hidup bersama manusia. Kawan, keluarga,  mau pun orang orang yang sekadar lewat dalam hidupku. Aku kerap mempertanyakan hal ini kepada mereka, namun tak satu pun dari mereka memiliki jawaban. Sebagian tertawa menanggapinya dan menganggapnya sebagai gurauan. Sebagian lagi menghindar dan menaruh curiga bahwa aku hendak menggoyahkan keyakinan mereka terhadap sesuatu.

Maka aku pendam sendiri pertanyaan itu di kepalaku. Lantas setiap kali aku melalui waktu bersama manusia, kucatat perilaku perilaku mereka dalam pikiran. Sambil membaca buku atau berita, aku mendapati begitu banyak hal yang tidak pasti mengenai kemanusiaan.

Manusia yang harus selalu diperingatkan untuk menyiram air kencingnya sebelum keluar dari toilet masjid, manusia yang harus selalu diberi peringatan di sana sini dan di mana mana. Manusia yang menerobos lampu merah, melawan arus, atau memuat penumpang maupun barang melebihi kapasitas kendaraan.

Manusia yang membuang bayinya, membunuh musuhnya, menghukum maling tak kira kira sampai setengah hidup setengah mati dan seluruh tubuhnya rusak-bengkak hingga tak layak menjadi apa apa.

Manusia yang bergumul mencaci maki sesuatu.

Manusia yang menciptakan nuklir dan perang.

Tetapi manusia pula yang menuntun nenek nenek tersesat menuju tempat tujuannya, menolong seekor kucing yang kelaparan, menjabat tangan anak kecil ketika menangis, tersenyum kepada wajah yang murung.

Manusia yang memiliki kulit yang hangat.

Manusia yang menemukan vaksin bagi penyakit penyakit mematikan.

Manusia yang hitam

Manusia yang putih.

Kekejaman maupun kebaikan.

Sampai saat ini aku sungguh tak mengerti apa arti kemanusiaan itu.

Minggu, 26 Februari 2017

Bangkai kucing di sumur

Ada bangkai kucing di sumur saat hujan murung mengepung rumah kecil kami yang kesepian. Bangkai kucing seukuran paha manusia yang susah diangkat dengan ember dan tali engsel pengait. Kata ibu bangkai itu bau, mungkin itu bangkai kucing yang bebal semasa hidupnya. Kucing yang suka mencuri meski sudah dikasih makan.

"Bukankah semua kucing suka mencuri?"tanyaku saat berusaha mengangkat bangkai itu. Ibu berdiri di samping sambil mengamati.

"Tidak semua kucing,"

"Contohnya?"

"Kucing Nyonya Rahma tidak pernah mencuri," jelas ibu dengan pasti. Nyonya Rahma adalah tetangga kami yang paling kaya. Rumahnya dua blok dari rumah kami. Ia menyayangi kucing dan memiliki berbagai jenis kucing dalam kandang kandang.

"Tentu saja kucing Nyonya Rahma tidak pernah mencuri, mereka kan selalu kenyang."

Ibu tidak menanggapi. Hujan yang tempias di tepi sumur membuat kami semakin kesulitan untuk mengangkat bangkai itu.

***

Ibuku bekerja sebagai tukang cuci di rumah Nyonya Rahma. Ia bangun pagi pagi dan pulang petang sekali. Sedang ayahku menganggur sambil sesekali menarik ojek bila ada tetangga yang minta diantarkan.

"Apa ibu tidak lelah seharian bekerja?"tanyaku suatu sore sambil memijiti kakinya.

"Seharusnya kamu menanyakan hal itu pada ayahmu," ucap itu. Matanya kian hari kian kosong kehilangan tenaga.

"Dia yang menikahi ibu," lanjutnya.

Setelah itu aku tak pernah berani lagi menanyakan apa-apa pada perempuan itu. Kehidupan kami tertutup rapat rapat bagi segala pertanyaan yang mengusik hati.

Esoknya, saat aku sedang ingin menimba air dari sumur, emberku membentur sesuatu yang keras dan berat. Mataku membelalak saat mendapati sesosok tubuh dengan kaos oblong berwarna kusam dan kepala setengah botak.

Dengan hati teriris aku berusaha mengangkat jenazah ayahku yang tercemplung di sana. Jenazah yang semasa hidupnya begitu bebal seperti bangkai kucing bau beberapa waktu lalu.

Sabtu, 25 Februari 2017

Laki laki yang selalu meminum aspirin di pagi hari

Sebutir aspirin adalah sebinar cahaya di pagi hari untuk menghadapi huru hara bumi. Celah jendela sudah terbuka dan suara Mama menggerutu jelas sekali di balik pintu. Katanya aku harus segera bergegas menyiapkan hidupku agar menjadi manusia.

Aku tertawa,tertawa dengan ceruk hitam di mata karena keseringan begadang. Kaca di kamar usang menampilkan bayanganku yang temaram dalam balutan baju tidur kedodoran.

"Kapan kamu akan dewasa, Mar?" tanya Mama dari jauh.

Aku masih berkacak pinggang menghadapi suaranya yang berkelindan di kepala. Ia seperti ada tapi juga seperti tidak ada. Oh, tidak sebetulnya yang semu itu aku.

Aku yang semu dan selalu orang orang melewatiku tanpa menyapa. Seekor tikus melenggang begitu saja di hadapanku. Aku melangkah masih dalam seragam santai.

"Kamu tidak akan pernah bisa menikah kalau jam segini kamu belum mandi," ejek mama lagi.

Mataku menatap jarum jam di dinding. Segalanya berbunyi. Kaca pelindungnya, jarum kecil maupun yang besar, juga dinding tempatnya menempel.

Ini seperti gempa dan aku tertawa. Aku belum siap menghadapi apa-apa.

"Kau mabuk pagi-pagi?"

Aku hanya minum aspirin, Ma, jawabku dalam hati. Hatiku temaram dan belum pagi. Tapi matahari di luar mengganggu sekali. Juga suara ibu dan tetangga. Suara kendaraan di jalan dan semua hiruk pikuk yang hidup di kepalaku.

"Kamu tidak pernah berubah,Mar," Mama menyeka air matanya.

Samar samar bayangannya lenyap bersama telapak tanganku yang kosong. Tak ada Mama di sini. Tak ada Mama di mana mana. Kusadari obat penenangku telah habis.